Mengisi Hari

Tuhan Karuniakan Akal dan Hati untuk Mendekat Pada-Nya

12.4.07

Dari Komunitas ke Legal Formal

Meski nggak sekental FIS, nuansa politis masih terasa di lembaga kemahasiswaan (LK) FE. Kadang, ini yang membuatku harus adaptasi. Maklum, dari awal masuk aku banyak diasuh Kerohanian Islam (rohis) dan media kampus. Dua organisasi yang berbasis komunitas, yang lebih menekankan rasa senasib sepenanggungan daripada aturan formal.
Kesannya, LK begitu panas awal persaingan menjadi ketua, memasukkan pengurus sampai gontok-gontokan konsep acara. Singkatnya, politik tuh haus kekuasaan dan dekat dengan 'penindasan'. Wuiihh...ngeri. Tapi gak apa-apa. Bisa jadi yang masih menganggap gitu, belum memahami esensi sebuah politik (termasuk aku). Padahal kalo dipikir-pikir, sejak awal politik muncul kan untuk mengatur banyak orang. Yang banyak kepentingan, beragam latar belakang dan berbeda pemikiran. Muaranya kan sama, hidup tentram, adil dan sejahtera.
Lha gimana mau mencapai tentram, orang musyawarah (pemilihan) saja sudah menimbulkan keributan. Gimana mau tentram, setiap saat ada kecurigaan. Gimana mau adil, lha yang dikasih amanat hanya mengurusi dirinya. Gimana juga mau sejahtera lha yang dipimpin gak percaya dengan aturan yang ada. Bisa jadi itulah gambaran politik di dunia nyata. Di tingkat masyarakat sungguhan tapi. Di kampus mah sekadar miniatur. Kekuasaannya masih didalam batasan pagar kampus.
Realita itulah yang membuatku berpikir untuk sedikit "membelokkan" kiblat politik kampus. Dari politik "red ocean" ala Pergerakan Ekstra Kampus menjadi "blue ocean" ala komunitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kalau di masa reformasi istilah "high politic" sempat mengemuka, istilah "blue ocean" pun baru mengemuka baru-baru ini di dunia bisnis. Aku pikir, konsep itu menarik untuk diadopsi.
Pendekatan persaingan antar LK maupun antar kepentingan sebenarnya lebih indah kalau diarahkan ke pendekatan kemitraan. Bukankah itu gagasan awal timbulnya kegiatan kemahasiswaan. Idealisme yang memimpikan mahasiswa siap bermasyarakat, memimpin dan menjadi agen perubah masyarakat setelah ditempa didunia intelektual.
Makanya, waktu ada berbagai kepentingan mulai masuk LK, dialog dan tukar pandangan bisa menjadi media. Tentu menuntut saling pamahaman dan pengertian. Begitupun saat beberapa pengurus BEM FE mencalonkan diri menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Profesi (tingkat Jurusan) akhir Maret lalu. "Kalo memang kalian dipercaya teman-teman jurusan, why no?" kataku. "Asal jangan gunakan posisi pengurus BEM untuk kepentingan pemilihan."
Jadilah Agi Suprayogi (sekretaris Dept Pendidikan dan Pengembangan mahasiswa) memuncaki perolehan suara di jurusan Akuntansi. Rizky Rachmandany (Kadept Kesejahteraan mahasiswa) memimpin Himpro Manajemen dan Yosi Aulia Rahman yang pernah kuajak masuk pengurus BEM FE sebagai ketua Himpro Ekonomi Pembangunan. Semua bisa jadi bermitra untuk membangun hubungan kekeluargaan di FE. So, sistem Keluarga Mahasiswa bukan hanya slogan di bibir dan di kain background kegiatan semata.
Tentu semua perlu didasari niat baik. Dan karena tidak ada jaminan semua orang punya niat baik, waspada pun menjadi solusi perisai. Kekeluargaan bukan berarti tanpa aturan, tanpa kepeminpinan tanpa pengarahan. Kalau ada yang menyimpang, diluruskan. Kalau ada perbedaan, dimusyawarahkan. Seperti ungkapan di dunia jurnalis, "Menghibur yang sedang sedih, memukul yang sedang gembira." Ada kaitannya gak sih?


23.12.06

Amanah Ketua BEM FE

Kamis dini hari, 21 Desember 2006 rasa lelah dan ngantuk masih menggelayuti. Di sampingku Baskoro yang mengenakan jaket jeans hijau masih setia dengan headsetnya. Tak ada beban di wajahnya meski perolehan suara di bawahku. Aku 671 suara dan Baskoro 'ganteng' mendapat 530. Jadilah kami yang sama-sama dari jurusan Manajemen menenpati urutan satu-dua pada Pemilu BEM Fakultas Ekonomi.
"Menetapkan, Muhammad Hamdan dengan NIM 081326338733 jurusan manajemen sebagai Ketua BEM Fakultas Ekonomi terpilih periode 2007," kata Ketua KPU FE Ranto. Tepuk tangan terdengar dan satu persatu menyalamiku. Pendamping BEM FE Agung Yulianto dan Deki Aji, Ketua BEM FE Anggit Pragusto, dan Baskoro, Yosi serta Anggi. Aku pun menghampiri Pembantu Dekan III Kusmuriyanto.
Yang nggak terduga, perolehan suara Baskoro mengungguli Yosi Aulia Rahman (IESP) yang meraup 436 suara. Padahal, banyak yang memperkirakan perolehan suaraku dengan Yosi akan ketat. Mungkin malam itu menjadi saat yang paling menegangkan baginya. Dengan balutan baju hitam ata Uje, Yosi beberapa kali kelihatan gelisah saat proses penghitungan suara.
Tapi ya begitulah adanya entah karena 'mesin politik' Baskoro kuat atau karena wajah kerennya dipajang di mading selama sepekan (bersama foto calon laen juga, sih). Yang jelas jauh unggul dari Moh Anggi yang kemarin juga nyalon ketua Hima Ekonomi, 91 suara. Sementaa suara rusah & abstain mencapai 185.
Harus diakui ini merupakan kerja keras temen-teman tim sukses. Seperti aku kemukakan ke calon lain saat ngobrol di tempat penghitungan, aku sama sekali tidak populer. Jauh dibawah Yosi yang tahun ini menjadi ketua departemen bakat & minat BEM FE. Juga Baskoro dan Anggi yang sempat menjadi panitia Orientasi Kehidupan Kampus (Okka).
Tugas berikutnya menanti, menyusun kabinet. Siang tadi (23/12) aku baru menemui Dekan FE Agus Wahyudin. Hal yang ditekankan simpel tapi penting. Komunikasi intensif dengan birokrat fakultas dan jurusan serta membangun budaya organisasi rapi secara tampilan maupun kerja. Pokoknya Ekonomi banget lah, not sosialist yang kegembel-gembelan!

17.11.06

Allah Maha Pemurah

Allah sedang melimpahkan ujian nikmatnya padaku Jumat (17/11) ini. Aku diberi kesempatan BEm Ekonomi menjadi moderator Halal bi Halal, bisa bincang-bincang pribadi dengan anggota DPRD Ari Purbono dan menjadi 30 besar finalis lomba "Blog Competition 2006"

Pulang dari Bojonegoro, aku memang
rada sumpek. Yah, meski bisa senang-senang sejenak aku tetap tak bisa tenang dengan amanah mengelola kepentingan 'umat' kampus. Acara Kemah Jurnalistik (KJ) sudah menunggu, reor Lembaga Kemahasiswaan kayak BEM juga mulai ramai, belum lagi laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang sudah ditunggu dosen pendamping. So, saat dikasih kesempatan buat 'latihan ngomong' di halal bi halal, rasanya bisa rileks.
Ketemu adik-adik angkatan dan saudara-saudara seperjuangan di Fakultas Ekonomi. Bisa bincang-bincang pula dengan Ustadz Ari Purbono. Kami
ngobrol cukup banyak, dari kesibukan pribadi, kegiatan para anggota dewan, sampai anggaran PSIS yang menurut beliau sangat tidak rasional, tidak wajar, dan tidak yang lain. Ceramahnya pagi itu pun luar biasa. Cerita-cerita segar mengalir mempermudah cernaan masalah sombong, dengki sampai bersegera taubat. Semuanya bisa diterima dengan nyaman, ga kaku.
Sesaat sebelum menuruni lantai 3 gedung C7, ponselku bergetar. Bla...bla...bla...aku diundang ke Le Resto Cafe, Sabtu (18/11). Aku terpilih menjadi 30 finalis lomba "Blog Competition 2006". Sempat terbayang hadiah HP atau liburan ke Bali. Cuma terbayang sejenak, selanjutnya bingung. Sabtu sore kan ada KJ di Medini Kendal!

Empat Hari Menjelajah Jawa Timur

Berangkat dari ketidakpuasan program Kuliah kerja Lapangan (KKL), teman-teman sekelasku berinisiatif mengadakan study tour sendiri. Senin (13/11) pukul 14.00, 14 mahasiswa manajemen pemasaran reguler Universitas Negeri Semarang (Unnes) pun bertolak dari depan Masjid Ulul Albab (MUA).
Study tour memang dimaksudkan untuk menggali ilmu bisnis, langsung dari praktisinya. Yang diincar sih pengusaha kecil atau home industri. Kayaknya kami 'kapok' ke perusahaan besar seperti program KKL jurusan. Pertama, waktu mereka untuk menjelaskan terbatas. Trus juga kayaknya kurang relevan dengan jiwa wirausaha seperti yang diajarkan. Selain itu juga perlu prosedur administrasi yang cukup menyta energi. So, kami memilih usaha kecil di sekitar tempat tinggal anggota kelas.
Ini juga menguntungkan karena kami bisa nunut istirahat di rumah teman dan syukur-syukur dapat makan gratis (maunya). Yang jelas sasaran lain dari acara ini adalah mempererat persahabatan sampai nanti lulus kuliah!
Acara seperti ini memang bukan yang pertama bagi kelas kami. Sebelumnya, kami sudah melakukan 'ekspedisi' ke Batang dan Pekalongan. Sayangnya, waktu itu aku gak ikut. Baru kali ini aku bisa ikut. Target kami, kabupaten Bojonegoro dan sekitarnya.
Kami berangkat dari stasiun Poncol pukul 15.05 dengan kereta api KRD bisnis. Cuma Rp 18.000 untuk perjalanan selama 5 jam! Ternyata banyak diantara kami yang baru pertama kali naik kereta api. Tak heran, kami pun asyik dan cuek membuat kegaduhan dengan lampu blitz kamera. Pose bareng dan berulang-ulang. Njlei rak!
Esoknya, kami mengunjungi kawasan mebel di jalan Brig. jend. Sutoyo kota Bojonegoro. Pertama, di UD Jati Kembang yang dikelola Ibu Sapuan dan anak-anaknya. Bu Sapuan pun bercerita panjang lebar dari awal terbentuknya kawasan mebel Bojonegoro samai perkembangan usahanya saat ini.
Kedua, kami mengunjungi UD Sadam yang didirikan Pak Sadam. Beliau yang ternyata dari Sukodono Jepara inilah perintis industri mebel di Bojonegoro. Awalnya, beliau adalah tukang kayu yang berkelana ke berbagai daerah. Tahun 1976, beliau mendapat pinjaman modal dati temennya dari Sumatra Panjaitan. Dari situlah mebelnya berkembang hingga sekarang. Mebelnya sempat pun menghiasi rumah keluarga cendana.
Dari sana, kami bertolak ke tempat wisata Wahana Bahari Lamongan (WBL). Di sana, kayak anak kecil saja. Menjelajahi berbagai wahana dari biosko 3D, rumah hantu, sampai playground! Kebanyakan pengunjungnya juga anak-anak SD dan SMP.
Rabu (15/11), kami menghabiskan hari ke Malang. Sasarannya, taman Selecta dan rumah Aik. Kami baru pulang kamis pagi pukun 05.00! Huh lelah. Tapi asyik.

9.11.06

Temu Kangen & Lebaran di Jepara

Waktu perpisahan siswa MA Walisongo pertengahan 2002, kami memang sudah membicarakan reuni. Satu, dua, tiga tahun berlalu tak ada undangan reuni. Baru tahun ini, reuni terlaksana.

Banyak teman putri yang hadir dengan suami atau istri, bahkan anak. Semua memang menunjukkan rona wajah bahagia. Walau banyak yang tidak sepakat inti reuni diisi hiburan band R&B. “Mengganggu obrolan saja. Sudah keras, nggak nyaman didengar lagi,” cetus salah satu diantara kami.
Musik yang disajikan pun hanya dinikmati sebagian kawan-kawan, yang kebanyakan jadi panitia. Gara-gara band itu pula reuni tidak bisa dilakukan di gedung MA Walisongo yang penuh kenangan. Tentu saja Kepala Madrasah tidak merestui. “Apa pandangan masyarakat kalau madrasah kalian dipake pertunjukan musik?” kata seorang panitia menirukan kepala Madrasah. Reuni pun dilakukan 500 meter di luar lingkungan madrasah, Gedung aula PT Dasaplast Pecangaan.
“Masih untung ada perwakilan guru yang mau datang,” pikirku. Acara yang menarik pun salam-salaman. Saling memaafkan. Rasanya nggak ada lagi kekesalan di hati, berganti kebahagiaan bertemu. Saling tanya kabar, bercerita aktivitas masing-masing dan tukeran nomor HP menghiasi seluruh penjuru gedung.
Tak puas hanya acara itu, aku dan teman-teman akrabku pun membuat acara sendiri. Fahruddin yang pernah sebangku denganku, kini mengelola toko. Shobirin menjadi “tangan kanan” di perusahaan mebel. Khoiril Anam malah punya perusahaan sendiri. Sementara aku masih minta uang orang tua, malu!
Pertama, ke rumah Wiwik. Ngobrul ngalor ngidul sekitar satu jam, pulang. Mampir ke rumah Muhlisan yang juga pernah sebangku. Masih setia nyantri di Kediri. Menjelang Ashar, ke rumah Maftukhah yang baru kali itu kudatangi. Sebelum pulang mampir ke rumah Shobirin.
Esoknya, nyambung seduluran ke teman-teman Unnes di Jepara. Bersama Ketua BEM FE anggit PS, aku mengunjungi Rif’an (Ketua Hima Kimia) dan Shin’an (Mantan Ketua Hima matematika). Seru juga, diskusi problematika kampus, pilkada, hingga masa depan pascakampus. Sementara ke rumah Anggit baru bisa dua hari kemudian. Jalannya belak-belok, membingungkan. Sampai waktu pulang minta diantar.
Begitu altivitas selama lebaran di Jepara. Selalu diwarnai pertemuan dan maaf-maafan. Tapi kok tidak membosankan ya, malah pengin lagi!

SMS (Khusus) Minta Maaf

Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar,” suara takbir terdengar dari berbagai penjuru kampung. Senin (24/10) malam, aku masih tertahan di ruang depan. Aku harus menunggu toko karena bapak, ibu dan satu-satunya adikku berkunjung ke rumah kakek.

Tangan kananku mencengkeram ponsel. Beberapa detik sebelumnya, ku mengirim SMS Lebaran ke beberapa dosen Unnes. “Selamat Idul Fitri 1427 H. Nyuwun aguning samudra pangaksami,” kira-kira itulah “ucapan resmi” yang kukirim atas nama Pemimpin Redaksi Buletin Express.
Teman-teman di Unnes dan kenalan di perguruan tinggi lain sudah kukirimi SMS sehari sebelumnya. Bahkan, teman-teman yang menggunakan nomor Telkomsel sudah kukirimi sejak H-2. Maklum, hari itu ada tarif murah.
“As. Maaf, selama ini banyak khilaf. Mohon diikhlaskan. Ws.” Begitu pesan yang kukirim hampir ke semua teman yang sehari-hari bertemu. Tak ada ucapan Selamat Idul Fitri apalagi kata-kata puitis lain.
Ada satu dua teman yang protes. “Kok SMSnya seperti itu. Kata-katanya yang indah dong, “ kata seorang teman via telepon. Bahkan seorang teman mengatakan, “Kok kamu tidak mengirim SMS (Idul Fitri) untukku.” Ya memang tidak ada kata “Selamat Idul Fitri.”
Tapi menurutku, itulah inti ucapan Idul Fitri. Mengakui kesalahan dan meminta maaf. Kan bisa ditambah kata-kata lain? Sebenarnya, aku hanya ingin memberi penekanan. “Permintaanku bukan basa-basi. Aku benar-benar minta maaf,” batinku saat satu per satu SMS kukirim.
Aku khawatir, permintaan dan pemberian maaf di Hari Suci hanya menjadi tradisi semata. Yang minta maaf tidak benar-benar menyesali, mengakui dan bertekad memperbaiki kesalahannya. Bahkan bisa jadi masih tidak menyadari kesalahannya. Yang memaafkan pun tak berbeda. Tidak tahu apa yang dimaafkan. “Semua kan harus dimaafkan,” kata temanku. Lucunya, seringkali dia mengirim SMS “Kumaafkan dan aku juga minta maaf.” Padahal, dia nggak tau siapa yang mengirim SMS.
Sebelum Idul Fitri, aku bahkan sempat berpikir untuk minta maaf ke semua teman secara langsung. Kalupun tidak sempat bertemu ketika bulan Ramadhan dan Syawal, bisa telepon. Khususnya yang menggunakan jasa layanan sama, Telkomsel. Nah, kalau nggak bisa juga, baru lewat SMS.
Itu hanya pikiranku menjelang Idul Fitri tahun ini. “Hanya untukku sendiri dan bukan berarti yang tidak begitu kuanggap salah,” batinku. Saya tidak mengatakan ke orang lain (kecuali setelah Idul Fitri) meski sangat mengusik pikiranku.
Kuketik keypad ponsel, *889. Baru kusadari, tak kurang dari Rp 50 ribu habis untuk SMS lebaran. “Yah, siapa tahu pemahamanku yang salah,” pikirku saat itu. “Nanti aku diskusikan setelah lebaran.”

Inspirasi dari Sudut Kota Lama

“Kalau nanti sudah bekerja, jangan lupakan agama dan Sang Pencipta. Buat apa materi melimpah namun tidak tentram, “ pesan Marketing Manager PT Bhanda Ghara Reksa Semarang Dyah Retno Utami. Sejurus, wanita yang akrab dipanggil Bu Erna pun mempersilakan kami berpamitan.

Peristiwa itu terjadi seminggu menjelang Hari Lebaran. Pagi itu, aku bersama Aji dan Teguh memang berniat pamitan. Kuliah Praktik Kerja Lapangan (PKL) sejak awal September 2006 telah terlalui. Seluk-beluk pemasaran di perusahaan BUMN itu pun telah kami “obrak-abrik”. Dari pemantauan proses produksi, administrasi pemasaran, kontrak perjanjian, tender, sampai tips “pengendalian” preman pelabuhan kami dapatkan.
Sejak awal PKL Bu Erna mengatakan, “Kalian yang tanya sendiri apa yang dibutuhkan. Saya tidak menyeramahi ini-itu seperti anak SMA. Masuknya seminggu berapa kali juga sesuai kebutuhan kalian.” Hari berikutnya, kami membedah data-data bidang pemasaran.
Selain Bu Erna, ruang bagian pemasaran juga dihuni Slamet Sardjito yang akrab dipanggil Pak Haji. Lelaki berusia lima puluhan tahun ini tinggal di dekat Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Seminggu sekali, dia ke Pati untuk berkumpul dengan keluarga. Sebenarnya ada satu staff lagi, Darmawan. Namun yang terakhir ini jarang di ruang sehingga tidak begitu akrab dengan kami.
Sebaliknya, Pak Haji selalu menunjukkan apa yang tak kami pahami khususnya masalah administrasi internal. Membuat laporan bulanan sesuai standar ISO, mengirim surat penawaran, sampai membuat kontrak kerja diajarkan kepada kami. Kebetulan, kami bertiga juga senang mengolah MS Word dan MS Excell. Dalam beberapa kesempatan, justru Pak Haji kami “kalahkan.” Terakhir, bapak dua anak ini minta diajari menggunakan Windows Media Player. Soalnya, program Winamp yang biasa dipakai sedang nggak jalan.

Bu Erna pun selalu terbuka untuk menjelaskan. Kesibukan mengejar target penjualan dan punya ruang sendiri sejak awal Oktober tidak mengurangi kehangatan seorang ibu. Kebetulan salahsatu putranya seusia kami.
“Mas Hamdan, saya kan mau ngeprint daftar surat-surat Qur’an ini. Tapi yang bawah kok hilang,” katanya suatu ketika. Bu Erna duduk di belakang meja manajer pemasaran. Monitor komputer di depannya menunjukkan situs internet yang menyajikan daftar surat beserta jumlah ayat. Beberapa lembar kertas HVS membujur di mulut printer. Saya ambil satu. “ Kalau dipindah ke MS Word trus tabelnya diperkecil, mungkin bisa,” pikirku.
“Ya Bu, ta cobanya,” kataku. “Iya, tolong ya Mas. Saya kan pengin taju jumlah ayat-ayat Al Qur’an. Kalau ada kayak gini kan mudah dibaca,” katanya seraya beranjak dari kursinya. “Duduk sini saja,” tambahnya.
Bu Erna pun melangkah ke kursi tamu di depan meja. Disambarnya surat kabar yang baru dibeli ketika aku masuk ruangan. Blok, Copy, pindah ke MS Word, tekan Ctrl dan V. Atur-atur ukuran font dan tabel, print! Alhamdulullah, bisa. “Sudah, bisa? Tadi caranya gimana, katanya ketika hasil print kuserahkan.
Bu Erna memang suka membahas masalah agama. Tidak hanya membahas, setiap mulai bekerja pun Bu Erna selalu Shalat Dhuha. Dia juga pernah menyatakan di kantor BGR (Semarang) hanya segelintir karyawan yang menggunakan waktu istirahat untuk sholat. “Apalagi puasa Ramadhan,” katanya.
Tak hanya karyawan bagian pemasaran yang “menangani” kami. M Yunus yang akrab dipanggil Pak Yunus pun demikian. Segagai Manajer Logistik, dia Mengajak kami mendalami seluk-beluk produk PT BGR, khususnya bagian logistik.
Pernah suatu hari kami diajak Pak Yunus ke pelabuhan Tanjung Emas. Memang luar biasa, kami tahu realita pekerjaan. Meminta surat pengeluaran barang, kordinasi dengan mandor dan penjaga malam sampai yang aku sebutkan tadi, berhubungan dengan preman. “Mereka itu jangan selalu dituruti. Kalau nggak gitu, habis kita dipeloroti,” katanya setelah kembali ke kantor. “Tapi sekali waktu juga kita ajak makan bareng. Karena kita juga butuh keamanan barang kita.”
Padahal katanya, sebagian besar orang yang ditemui di pelabuhan hari itu, baru dikenal saat itu. Pak Yunus memang supel dan komunikatif. Persis seperti yang diajarkan kepada kami, “Kesuksesan karier itu ditentukan oleh ketrampilan komunikasi.”Bagiku, sebulan PKL di Jalan Letjen Suprapto Kota Lama banyak memberi inspirasi. Berbuat baik kepada orang lain dan tidak memandang rendah. Memaafkan orang salah, walau mereka tidak memintanya. Karena mereka juga “guru” kita. Membantu kita berlatih sabar dan melapangkan dada. Bukankah kebahagiaan bersumber dari kelapangan dada?

Perbedaan dan Tanggungjawab

Hidup di tengah komunitas pasti tidak akan lepas dari perbedaan. Beda pendapat dan pemikiran senantiasa menghiasi kehidupan. Itu merupakan konsekuensi logis dari perbedaan latar belakang dan karakter seseorang. Begitulah fitrah kita yang tak bisa lepas dari perbedaan.

Kita tidak perlu phoby terhadap perbedaan. Toh, kalau dirunut, ternyata tidak ada dua orang yang sama persis. Dunia justru lebih berwarna dengan perbedaan-perbedaan. Ketidaksamaan justru dapat menghasilkan kombinasi seindah pelangi.
Beda pendapat bukanlah suatu masalah jika kita sikapi dengan keluasan hati. Ikhlas memang bukan mengalah dan mendiamkan sesuatu yang salah. Ikhlas justru berani mengingatkan yang salah dan mengakui kesalahan. Itulah mengapa ikhlas membutuhkan keberanian sejati dengan senantiasa menimbang pendapatnya sendiri. Menimbang dengan jernih dan objektif terhadap pendapat orang lain seperti pendapat sendiri. Begitulah, kita memperlakukan pendapat kita sama adilnya dengan pendapat orang lain. Bukankah semua ilmu milik Allah? Ilmu-Nya dapat diturunkan pada kita secara langsung. Bisa juga melalui fikiran orang lain sebelum sampai pada kita. Bersyukurlah atas ilmu yang diberikan dengan berbagai jalan.
Jalan hidup yang berbeda dalam menyusuri Qur’an dan Sunnah pun tidak harus selalu berakhir dengan lurus-sesat, mu’min-munafik, atau bahkan muslim-kafir. Itu wilayah mutlak Sang Maha Mengetahui. Kita diberi karunia akal dan hati untuk menerjemahkan petunjuk-Nya. Kita menyadari otak yang dikaruniakan kepada manusia sangat terbatas. Dengan bekal ilmu yang sebanyak air diujung jarum diantara lautan, kita diperintah untuk menjalankan ajaran-Nya sesuai kemampuan. Itulah esensi dunia sebagai tempat ujian kehambaan. Tujuan akhirnya adalah Ridho dari Allah, Dzat yang masih menjadikan kita hidup dalam persaudaraan.
Adalah tugas kita mewujudkan Islam sebagai Rahmat bagi seluruh alam yang sarat dengan perbedaan. Mengajak manusia menjalankan fungsi penjaga bumi (khalifah fi al-ardh). Menjauhkan mereka dari sikap merusak, baik terhadap bumi, tatanan diatasnya bahkan perusakan terhadap pemikiran-pemikiran manusia sendiri. Melestarikan dan menjaga alam seisinya sesuai petunjuk pemiliknya. Inilah yang menjadi tanggungjawab manusia. Terlepas manusia mau menyadari dan menjalankan atau tidak, semuanya akan diminta pertanggungjawaban beserta konsekuensinya. Semoga Allah senantiasa melindungi kita. Wallahu ‘alam bis showab.

7.11.06

Surat untuk Saudara Seiman

Sejahteralah Kalian dalam Lindungan Allah Yang Maha Suci

Saudaraku tercinta,
Sekiranya ruh meloncat dari jiwa adalah tebusan untuk semua dosa yang pernah kita perbuat, niscaya senyum akan mengiringi perpisahan dengan dunia. Sayangnya, kematian justru awal dirasakannya akibat maksiat. Datangnya ajal justru menjadi awal penanggungan konsekuensi pembangkangan.
Maka coba kita tengok diri sendiri. Sementara, tahanlah hasrat mengoreksi orang lain. Lihat diri sendiri, jauh ke dalam diri, lihat ke hati. Bisakah untuk becermin? Adakah cahaya Allah terlihat di sana? Adakah sedikit nur yang memantul, yang memberi kesejukan pada hati lain di sekitar?
Akuilah kalau hati kita tertutup dosa. Kalau hati kita ternoda karena menyepelekan perintah-Nya. Kalau ikrar syahadah tak lagi menggetarkan hati, merasuk jiwa menghujam ke sumsum di tengah tulang.
Kala takbiratul ikhram tak lagi membuat bulu kuduk berdiri, kala Fatihah keluar oleh reflek lisan semata, kala jasad sujud namun hati berkacak pinggang.
Saat kepekaan nurani hilang, angan dan pandangan sulit tertundukkan. Adab pergaulan terlalaikan dan hak persaudaraan terabaikan.
Perut yang meronta dan kerongkongan kering memang terjalani selama puasa. Namun kini, puasakah lisan kita? Berhentikah mengumbar kesalahan, kelemahan dan kekurangan saudara seiman? Saudara yang memintakan kita tautan hati tiap pagi dan sore.
Maka mari berdoa agar rahmah dan ampunan Allah terlimpah pada mereka. Mari melihat kembali kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Mari mengakui kesalahan kalau itu yang kita perbuat. Karena pengakuan adalah awal perbaikan, pengakuan adalah awal dari pintu maaf.
Mari membuka kembali hati kita dengan meminta maaf juga kepada-Nya. Taubah an-Nasuha, menyesal dan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi. Hanya itu harapan untuk lepas dari beban dosa. Perbaikilah dengan senantiasa mengingat Allah dalam setiap helaan nafas. Karena taubat itulah yang menjadi penawar dosa.
Semoga Rahmat dan Ampunan Allah untuk Kalian

Berkah Ramadhan Masih Terasa

Surat Fatihah mulai terlantun dari pengimaman Masjid Ulul Albab. Sejurus kemudian, isak tangis pun terdengan dari barisan jamaah sholat tahajud. Satu dua jamaah bahkan tak dapat menahan hingga ledak tangisnya terdengar sampai luar.

Waktu itu, malam ke 27 bulan Ramadhan 1427. Lebih dari seratus warga muslim menghabiskan sepuluh hari terakhir Ramadhan di masjid kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes). Mengikuti pengajian, dzikir, tilawah dan sholat malam menjadi aktifitas utama. Sahur dan buka puasa pun terlihat lebih bermakna karena dilakukan bersama, diteras masjid.
Ramadhan sudah dua minggu berlalu. Kenangan itikaf Ramadhan tampak masih terlihat di wajah jamaah masjid. Perayaan Idul Fitri di kampung halaman tidak menghapus nuansa penghambaan. Pertemuan dengan keluarga dan teman lama tidak melunturkan keintiman.
Ucapan "Taqobbalallahu Minna Wa Minkum" menjadi sapaan populer di hari-hari awal masuk kuliah. Di masjid, jabat tangan dan peluk persaudaraan menghiasi pertemuan kembali para jamaah. Tak ada jarak di hati mereka, apalagi dendam. Prasangka yang sempat menempel telah luntur.
Padahal aktivitas sebelum Ramadhan pasti banyak membawa luka. Perkataan yang menyinggung perasaan, perilaku yang tak menyenangkan atau prasangka yang tak berdasar. Semuanya seolah menjadi debu yang meredupkan persaudaraan.
Senyum tulus dan sapaan hangat kini melukiskan leburnya debu-debu di antara mereka. Tebaran maaf tergambar jelas di mata mereka. Mungkin, derai air mata Ramadhan lalu yang menjernihkan.
Kini, semua mempersatukan hati karena semua menyadari, iman kepada-Nya yang mempertemukan dan menyatukan. Memang benar, bukankah mencintai atau membenci orang lain harus berdasar petunjuk Allah? Karena bisa jadi, apa yang menurut kita buruk justru yang terbaik menurut-Nya. Begitulah Ramadhan, berkahnya terasa sampai sebelas bulan berikutnya.